Dokter, Ahli Herbal, Ahli Thibbun Nabawi Sama Baiknya Asalkan Ahli, Berilmu Dan Berpengalaman

 Sebagian orang bingung ketika berobat, ada yang menyarankan ke dokter atau ke ahli herbal atau harus ngotot pakai thibun nabawi.

Kebingungan bertambah ketika ada berita bahwa dokter memberikan obat kimia yang berbahaya, juga propaganda bahwa metode yang digunakana dokter itu umumnya dari orang kafir.

Kabar-kabar miring juga ada di dunia pengobatan herbal. Misalnya tersebar info bahwa obat herbal yang digunakan itu palsu atau ttidak terstandar. Atau ada sangkaan bahwa obat herbal tersebut dicampur kortikosteroid (yang mengandung hormon steroid). Atau ada sangkaan bahwa praktisi herbalnya hanya jadi-jadian, bermodal satu dua kali pelatihan lalu buka praktek.

Demikian juga di dunia thibbun nabawi. Bisa jadi praktisinya belum menguasai thibbun nabawi dengan benar. Lebih lagi thibbun nabawi tidak lepas dari faktor iman dan tawakkal kepada Allah. Misalnya untuk meyakini bahwa ruqyah dengan membaca Al-Fatihah bisa menyembuhkan sakit karena racun kalajengking, ini butuh keimanan. Belum lagi sebagian kecil kalangan yang tidak bertanggung jawab memasukkan semua metode ke dalam thibbun nabawi, padahal itu bukan thibbun nabawi.

Jadi pilih yang mana? Ke mana kita harus berobat

Semuanya baik asalkan Ahli, Berilmu Dan Berpengalaman

Dokter, ahli herbal  dan hali thibbun nawabi sama baiknya asalkan pengobatan dilakukan oleh ahlinya. Untuk dokter, maka mereka sudah ada pendidikan resmi, bertahap dan diterapkan di semua negara dengan standar yang hampir sama. Mereka sudah belajar dan diuji apakah sudah layak untuk melakukan pengobatan atau tidak.

Sedangkan untuk herbalis, sampai sekarang belum ada resmi dan diakui oleh pemerintah, misalnya sekolah herbal atau perguruan tinggi dengan jurusan herbal. Dengan kurikulum terstandar dan teruji. Inilah yang membuat herbal agak kurang diminati oleh orang. Akan tetapi cukup banyak kita temukan herbalis yang benar-benar pengalaman, sudah belajar dengan waktu yang cukup lama walapun tidak formal dan sudah berpengalaman. Untuk herbalis seperti ini, baik juga untuk pengobatan, bahkan ada metode pengobatan yang belum ditemukan dalam kedokteran modern ternyata ada metode pengobatannya oleh herbalis terpercaya. Begitu juga dengan ahli thibbun nabawi.

Demikian jugalah yang ditetapkan oleh agama Islam yang mulia ini. Praktek kedokteran harus dilakukan oleh ahlinya dan sudah berpengalaman

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”[1]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,

أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ، وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.”[2]

Ulama sekaligus dokter terkenal di zamannya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu berkata,

فإيجابُ الضمان على الطبيب الجاهل، فإذا تعاطى عِلمَ الطِّب وعمله، ولم يتقدم له به معرفة

“Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya[3]

Managemen terapi harus sesuai dosis dan indikasi

Demikian juga dengan obat yang digunakan, haruslah seorang dokter atau herbalis tahu benar obat dan herbal tersebut, bagaimana indikasinya, untuk penyakit apa (tentunya ia harus mampu mendiagnosis), tahu campurannya, tahu efek sampingnya dan sebagainya,

Ibnu hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,

فقد اتفق الأطباء على أن المرض الواحد يختلف علاجه باختلاف السن والعادة والزمان والغذاء المألوف والتدبير وقوة الطبيعة…لأن الدواء يجب أن يكون له مقدار وكمية بحسب الداء إن قصر عنه لم يدفعه بالكلية وإن جاوزه أو هي القوة وأحدث ضررا آخر

“Seluruh tabib telah sepakat bahwa pengobatan suatu penyakit berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan umur, kebiasaan, waktu, jenis makanan yang biasa dikonsumsi, kedisiplinan dan daya tahan fisik…karena obat harus sesuai kadar dan jumlahnya dengan penyakit, jika dosisnya berkurang maka tidak bisa menyembuhkan dengan total dan jika dosisnya berlebih dapat menimbulkan bahaya yang lain.”[4]

Demikian semoga bermanfaat

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam

@Rumah Sakit Mitra Sehat, Wates, Yogyakarta Tercinta

Penyusun:  dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

[1] HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang  lain, hadits hasan no. 54  kitab Bahjah Qulub Al-Abrar

[2] Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H

[3] Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro

[4] Fathul Baari  10/169-170, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379 H, Asy-Syamilah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAURAH TAKWINIAH ULA